Strategi Jaksa Agung Tuntut Pembakar Hutan dengan Hukuman Maksimal
DETIKSUMSEL.COM, Jakarta – Presiden Joko Widodo meminta agar pelaku pembakaran hutan dan lahan dijerat dengan hukuman yang maksimal. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pun mengaku telah memiliki strategi untuk menindak korporasi atau individu pembakar hutan tersebut.
“Selama ini kan justru yang diajukan ke pengadilan adalah pengeksekusi lapangan. Itu yang dari dulu kita minta dicari siapa dalangnya dari belakang, dalang intelektualnya. Kita kan punya dugaan orang-orang di lapangan itu kan pesuruh saja,” kata Prasetyo saat dihubungi, Kamis (17/9/2015).
Dalam hal ini memang yang bertindak sebagai penyidik adalah kepolisian. Kejaksaan Agung (Kejagung) dan jajarannya berperan sebagai penuntut umum yang mengajukan hukuman semaksimal mungkin.
“Tergantung hasil penyidikannya seperti apa. Hasil penyidikan diserahkan kepada jaksa penuntut umum. Kita teliti seperti apa, tersangkanya siapa, saksinya siapa. Kalau sudah lengkap baru akan masuk ke persidangan. Kita tunggu sejauh mana hasil penyidikan yang dilakukan,” kata Prasetyo.
Sejumlah putusan MA yang mengabulkan berbagai gugatan terhadap pembakar hutan akan menjadi tanggungan Prasetyo untuk segera dieksekusi. Salah satunya yaitu PT Kallista Alam yang didenda Rp 366 miliar karena terbukti membakar 1.000 hektare hutan.
Gugatan itu sudah bergulir sejak pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kini menjadi hukuman terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Berdasarkan catatan detikcom, kasus kerusakan hutan yang masuk sampai pengadilan pernah terjadi pada 2004 silam. Kala itu, warga menggugat Perhutani dalam kasus longsornya Gunung Mandalawangi, Garut, Jawa Barat.
Gugatan ini dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Garut dan menghukum denda Rp 30 miliar, dengan rincian Rp 20 miliar untuk biaya pemulihan lahan dan sisanya untuk ganti rugi kepada warga. Vonis PN Garut itu dikuatkan di tingkat banidng pada 5 Februari 2004 dan tingkat kasasi pada 22 Januari 2007 dengan nomor perkara 1794 K/Pdt/2004.
Di kasus kerusakan lingkungan, pemerintah SBY menggugat dua perusahaan PT SI dan PT SPI yang mengeksplorasi kawasan pesisir di Desa Simpang Pesak, Kecamatan Dendang, Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung sejak dekade tahun 2000.
Kedua perusahaan itu menyulap hutan lindung menjadi lokasi penambangan pasir kwarsa, tanah liat dan tanah bangunan dengan membuka lahan untuk perkantoran, bengkel, mess pekerja, tempat pencucian bahan galian hasil tambang dan eksploitasi air tanah di lokasi itu.
Pada 23 Mei 2014, hakim agung M Saleh dengan anggota hakim agung Prof Dr Abdul Manan dan hakim agung Dr Zahrul Rabain menghukum PT SI dan PT SPI sebesar Rp 32 miliar. Dana ini digunakan untuk memulihkan lahan yang rusak.
Masih di era SBY, Menteri Lingkungan Hidup dan Jaksa Agung juga menggugat PT Kallista Alam sebesar Rp 366 miliar. Sebab PT Kallista Alam membakar seribu hektare hutan di Aceh. Gugatan ini pun dikabulkan.
Tidak hanya itu, aset tanah dan bangunan PT Kallista Alam juga disita. Bahkan majelis hakim memberikan hukuman uang paksa kepada PT Kallista Alam sebesar Rp 5 juta per hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 28 Agustus 2015 lalu. Putusan ini menjadi putusan dengan pidana denda terbesar bagi perusak lingkungan.
Tak hanya itu, masih ada satu perkara lagi disodorkan sisa pemerintahan era SBY ke MA yaitu gugatan Rp 1 triliun terhadap PT National Sago Prima (NSP) yang membakar hutan di Meranti, Riau pada 2013. Jika MA mengabulkan gugatan ini, maka SBY kembali memecahkan rekornya sendiri dengan menjerat pelaku perusakan lingkungan dengan nilai denda yang sangat besar.(dhn/jor/Dtc)
Posting Strategi Jaksa Agung Tuntut Pembakar Hutan dengan Hukuman Maksimal ditampilkan lebih awal di Detik sumsel.